Tuesday, November 16, 2010

HA-NA-CA-RA-KA : Konsepsi Tradisional dan Ilmiah



Secara garis besar, ada dua konsepsi tentang kelahiran ha-na-ca-ra-ka. Dua konsepsi itu masing-masing mempunyai dasar pandang yang berbeda. Konsepsi yang pertama berdasarkan pandang pada pemikiran tradisional, dari cerita mulut ke mulut sehingga disebut konsepsi secara tradisional. Konsepsi yang kedua berdasar pandang pada pemikiran ilmiah sehingga disebut konsepsi secara ilmiah.

Konsepsi secara tradisional.
Konsepsi secara tradisional mendasarkan pada anggapan bahwa kelahiran ha-na-ca-ra-ka berkaitan erat dengan legenda Aji Saka. Legenda itu tersebar dari mulut ke mulut yang kemudian didokumentasikan secara tertulis dalam bentuk cerita. Cerita itu ada yang masih berbentuk manuskrip dan ada yang sudah dicetak. Cerita yang masih berbentuk manuskrip, misalnya Serat Momana, Serat Aji Saka, Babad Aji Saka dan Tahun Saka lan Aksara Jawa. Cerita yang sudah dicetak misalnya Kutipan Serat Aji Saka dalam Punika Pepetikan saking Serat Djawi ingkang Tanpa Sekar ( Kats 1939 ) Lajang Hanatjaraka ( Dharmabrata 1949 dan Manikmaya ( Panambangan 1981 )

Dalam manuskrip Serat Aji Saka ( Anonim ) dan kutipan Serat Aji Saka ( Kats 1939 ) misalnya diceritakan bahwa Sembada dan Dora ditinggalkan di Pulau Majeti oleh Aji Saka untuk menjaga keris pusaka dan sejumlah perhiasan. Mereka dipesan agar tidak menyerahkan barang-barang itu kepada orang lain, kecuali Aji Saka sendiri yang mengambilnya. Aji Saka tiba di Medangkamulan, lalu bertahta di negeri itu. Kemudian negari itu termasyhur sampai dimana-mana. Kabar kemasyhuran Medangkamulan terdengar oleh Dora sehingga tanpa sepengatahuan Sembada ia pergi ke Medangkamulan. Di hadapan Aji Saka, Dora melaporkan bahwa Sembada tidak mau ikut, Dora lalu dititahkan untuk menjemput Sembada. Jika Sembada tidak mau, keris dan perhiasan yang ditinggalkan agar dibawa ke Medangkamulan. Namun Sembada bersikukuh menolak ajakan Dora dan memperhatankan barang-barang yang diamanatkan Aji Saka.

Akibatnya, terjadilah perkelahian antara keduanya, oleh karena seimbang kesaktiannya meraka mati bersama. Ketika mendapatkan kematian Sembada dan Dora dari Duga dan Prayoga yang diutus ke Majeti, Aji Saka menyadari atas kekhilafannya. Sehubungan dengan itu, ia menciptakan sastra dua puluh yang dalam Manikmaya, Serat Aji Saka dan Serat Momana disebut sastra sarimbangan. Sastra Sarimbangan itu terdiri atas empat warga yang masing-masing mencakupi lima sastra, yakni :

1. Ha-na-ca-ra-ka
2. Da-ta-sa-wa-la
3. Pa-dha-ja-ya-nya
4. Ma-ga-ba-tha-nga

Sastra Sarimbangan itu, antara lain terdapat dalam manuskrip Serat Aji Saka, pupuh VII- Dhandhanggula bait 26 dan 27 sebagai berikut :

1. Dora goroh ture werdineki (Dora bohong ucapannya yakin)
2. Sembada temen tuhu perentah (Sembada jujur patuh perintah)
3. Sun kabranang nepsu ture (Ku emosi marah ucapannya)
4. Cidra si Dora iku (Ingkar si Dora itu)
5. Nulya Prabu Jaka angganggit (Lalu Prabu Jaka Menganggit)
6. Anggit pinurwa warna (Anggit dibuat macam)
7. Sastra kalih puluh (Sastra dua puluh)
8. Kinarya warga lelima (Dibuat warga lelima)
9. Wit Ha-na-ca-ra-ka sak warganeki (Dari Ha-na-ca-ra-ka itu sewarganya)
10. Pindho Da-ta-sa-wala (Dua Da-ta-sa-wala)
11. Yeku sawarga ping tiganeki (Yaitu sewarga ketiganya)
12. Pa-dha-ja-ya-nya ku suwarganya (Pa-dha-ja-ya-nya sewargane)
13. Ma-ga-ba-tha-nga ping pate (Ma-ga-ba-tha-nga keempatnya)
14. Iku sawarganipun (itulah sewarganya)
15. Anglelima sawarganeki (Lima-lima satu warganya)
16. Ran sastra sarimbangan (Nama sastra sarimbangan)
17. Iku milanipun (Itulah sebabnya)
18. Awit ana sastra Jawa (Mulai ada huruf Jawa)
19. Wit sinungan sandhangan sawiji-wiji (Mulai diberi harakat satu per satu)
20. Weneh-weneh ungelnya (Macam-macam lafalnya)

Teks diatas mirip teks yang terdapat dalam Manikmaya jilid II (Panambangan 1981 : 385) kemudian untuk memberikan kesan yang menarik lagi bagi anak-anak yang sedang belajar aksara ha-na-ca-ra-ka, dalam Lajang Hanatkaraka jilid I dan II ( Dharmabrata, 1948:10-11 : 1949:65-66 ) dihiasi dengan gambar kisah Dora dan Sembada. Hiasan yang menggambarkan kisah kedua tokoh itu menandai lahirnya ha-na-ca-ra-ka.

Tidak dapat dipungkiri bahwa legenda Aji Saka hingga beberapa generasi mengilhami dan bahkan mengakar dalam alam pikiran masyarakat Jawa. Dikatakan oleh Suryadi ( 1995 : 74-75 ) bahwa mitologi Aji Saka masih mengisi alam pikiran abstraksi generasi muda etnik Jawa yang kini berusia tiga puluh tahun keatas. Fakta pemikiran tersebut menjadi bagian dari kerangka refleksi ketika mereka menjawab perihal asal-usul huruf Jawa yang berjumlah dua puluh.

Selain Aji Saka sebagai tokoh fiktif, nama kerajaannya yakni Medangkulan masih merupakan misteri karena secara historik sulit dibuktikan. Ketidakterikatan itu sering menimbulkan praduga dan persepsi yang bermacam-macam. Misalnya praduga yang muncul dari Daldjoeni (1984: 147-148 ) yang kemudian diacu oleh Suryadi ( 1995 : 79 ) bahwa kerajaan Medangkamulan berlokasi di Blora, sezaman dengan kerajaan Prabu Baka di ( sebelah selatan ) Prambanan, yakni sekitar abad IX. Berdasarkan praduga itu, aksara Jawa ( ha-na-ca-ra-ka ) diciptakan pada sekitar abad tersebut.

Praduga Daldjoeni tentang lokasi Medangkamulan memang sesuai dengan keterangan dalam sebuah teks lontar ( Brandes, 1889a : 382-383 ) bahwa Medangkamulan terletak di sebelah timur Demak, seperti berikut :

Mangka wonten ratu saking bumi tulen, arane Prabu Kacihawas.
Punika wiwitaning ratu tulen mangka jumeneng ing lurah Medangkamulan, sawetaning Demak, sakiduling warung.

Demikianlah ada raja dari tanah tulen, namanya Prabu Kacihawas. Itulah permulaan raja tulen ketika bertahta di lembah Medangkamulan, sebelah timur Demak sebelah selatan warung.

Akan tetapi, penanda tahun kelahiran ha-na-ca-ra-ka diatas berbeda dengan yang terdapat dalam Serat Momana. Dalam Serat Momana disebutkan bahwa ha-na-ca-ra-ka diciptakan oleh Aji Saka yang bergelar Prabu Girimurti pada tahun ( saka ) 1003 ( Subalidata 1994 : 3 ) atau tahun 1081 Masehi. Tahun 1003 itu dekat dengan tahun bertahtanya Aji Saka di Medangkamulan, yakni tahun 1002 yang disebutkan dalam The History of Java jilid II ( Raffles 1982 : 80 ) pada halaman yang sama dalam The History of Java itu disebutkan pula bahwa Prabu Baka bertahta di Brambanan antara tahun 900 dan 902, yakni seratus tahun sebelum Aji saka bertahta.

Sementara itu, dalam Manikmaya ( salinan Panambangan, 1981 : 295 ) disebutkan bahwa Aji Saka – dengan sebutan Abu Saka mengembara ke tanah Arab. Di negeri itu ia bersahabat dengan Nabi Muhammad (hidup akhir abad VI – pertengahan abad VII ). Setelah pergi ke pulau Jawa, dengan sebutan Aji Saka akbibat berselisih paham dengan Nabi Muhammad ( Graff 1989 : 9 ) ia yang menciptakan aksara ha-na-ca-ra-ka. Penciptaan aksara itu diperkirakan pada sekitar abad VII ( sesuai dengan masa kehidupan Nabi Muhammad ) karena di dalam teks tidak disebutkan secara eksplisit.

Warsito (Ciptoprawiro, 1991: 46) dalam telaah Serat Sastra Gendhing berpendanpat bahwa syair ha-na-ca-ra-ka diciptakan oleh Jnanbhadra atau Semar. Dengan demkian, saat kelahiran ha-na-ca-ra-ka sulit ditentukan karena Semar merupakan tokoh fiktif dalam pewayangan.

Pendapat lain dikemukan oleh Hadi Soetrisno(1941 ). Dalam bukunya yang berjudul Serat Sastra Hendra Prawata dikemukan bahwa aksara Jawa diciptakan oleh Sang Hyang Nur Cahya yang bertahta di negeri Dewani, wilayah jajahan Arab yang juga menguasai tanah Jawa. Sang Hyang Nur Cahya adalah putra Sang Hyang Sita atau Kanjeng Nabi Sis (Soetrisno, 1941: 6). Disamping aksara Jawa, Sang Hyang Nur Cahya juga menciptakan aksara Latin, Arab, Cina dan aksara-aksara yang lain. Seluruh aksara itu disebut Sastra Hendra Prawata (Soetrisno, 1941: 3 – 6)

Di kemukakan pula bahwa berdasarkan bentuknya, aksara Jawa merupakan tiruan dari aksara Arab, mula-mula aksara itu berupa goresan-goresan yang mendekati bentuk persegi atau lonjong, lalu makin lama makin berkembang hingga terbentuklah aksara yang ada sekarang (Soetrisno 1941 : 10 ). Lebih lanjut dijelaskan bahwa Aji Saka yang dianggap sebagai pencipta aksara Jawa itu sebenarnya bukan penciptanya, melainkan sebagai pembangun dan penyempurna aksara tersebut sehingga terciptalah bentuk aksara dan susunan atau carakan ( ha-na-ca-ra-ka dan seterusnya ) seperti sekarang ini ( Hadi Soetrisno, 1941 : 7 ). Terciptanya bentuk aksara dan carakan itu melibatkan kedua abdinya, Dora dan Sembada yang menemui ajalnya secara tragis.

Selain yang telah diuraikan di atas, ada dugaan bahwa kisah tragis Dora dan Sembada dalam legenda Aji Saka merupakan simbol perang saudara untuk memperebutkan tahta Majapahit. Perebutan ia mengakibatkan hancurnya kedua belah pihak, menjadi bangkai dengan ungkapan ma-ga-ba-tha-nga. Tentu saja kisah simbolik yang melahirkan aksara ha-na-ca-ra-ka itu muncul setelah hancurnya kerajaan Majapahit, antara abad XVI dan XVII ( Atmodjo, 1994 : 26 )

Dugaan lain adalah bahwa peristiwa tragis yang menimpa Dora dan Sembada merupakan simbol gerakan milenarianisme, yakni gerakan yang mengharapkan datangnya pembebasan atau ratu adil, dengan ungkapan ha-na-ca-ra-ka ( Atmojo, 1994 : 26 ). Namun kapan datangnya pembebasan dan siapa yang dimaksud dengan ratu adil, apakah Raden Patah yang berhasil naik tahta setelah Majapahit runtuh atau Sutawijaya yang mampu menyelamatkan negeri ( Pajang ) dari rongrongan Arya Penangsang ataukah tokoh lain, masih merupakan tanda tanya yang sulit untuk memperoleh jawaban secara ilmiah atau nalar.

Praduga-praduga di atas mencerminkan keragaman pendapat, keragaman itu sulit dapat timbul dari persepsi yang berbeda-beda sehingga sulit untuk menentukan persamaan waktu atas kelahiran ha-na-ca-ra-ka. Kesulitan itu dapat disebabkan oleh sifat legenda yang fiktif sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan antara sumber yang satu dan sumber yang lain, sesuai dengan kehendak pengarang atau penulis masing-masing. Perbedaan praduga pertama ( Daldjoeni ) dengan praduga kedua ( dalam Serat Momana ) dan praduga ketiga ( dalam The History of Java ) misalnya terletakpada selisih waktu dua abad, sedangkan praduga kedua dengan praduga ketiga hanya mempunyai selisih satu tahun. Perbedaaan ketiga praduga tersebut akan lebih beragam jika menyertakan perkiraan hidup Aji Saka dalam Manikmaya, pendapat Warsito dan Hadi Soetrisno serta kisah-kisah simbolik di atas. Selain itu masih terbuka kemungkinan yang dapat menimbulkan perbedaan yang berasal dari teks-teks lain yang belum sempat diungkapkan di sini, termasuk misteri pencipta aksara tersebut.

Konsepsi secara Ilmiah
Kelahiran pada perkembangan aksara Jawa erat hubungannya dengan kelahiran dan perkembangan bahasa Jawa. Secara alami, mula-mula bahasa Jawa lahir sebagai alat komunikasi lisan pemakainya. Bahasa Jawa yang dilisankan itu, seperti bahasa ragam lisan pada umumnya, terikat oleh waktu dan tempat ( lihat Molen, 1985 : 3 ) untuk melepaskan diri dari keterikatannya, sesuai dengan pola pikir pemakainya dan sejalan dengan tantangan zaman akibat pengaruh lingkungan serta perkembangan ilmu dan teknologi, sarana yang nyata dan kekal, berupa aksara diciptakan. Aksara yang dipakai etnik Jawa muncul pertama kali setelah orang-orang India datang ke pulau Jawa. Diperkirakan bahwa sebelum itu etnik Jawa belum mempunyai aksara ( Poerbatjaraka, 1952 : vii ) sehingga masih berlaku tradisi kelisanan. Dengan munculnya aksara, mulailah tradisi keberaksaraan untuk menciptakan bahasa ragam tulis, meskipun tradisi kelisanan tetap berlangsung.

Hasil teknologi baru yang berupa tulisan memang memainkan peranan yangamat penting dalam sejarah manusia, dalam kehidupan sehari-hari di bidang ilmu pengetahuan, politik dan sebagainya. Ada perbedaan mendasar antara peradaban yang tanpa tulisan dan peradaban yang mempunyai tulisan ( Molen, 1985 : 3 ) peradaban yang mempunyai tulisan setidaknya mempunyai kelebihan setingkat lebih maju daridapa peradaban tanpa tulisan.

Dalam sejarah peradaban etnik Jawa, atas dasar data arkeologis, tulisan tertua yang ditemukan dalam bentuk prasasti dengan menggunakan aksara Pallawa menunjukkan penanda waktu sebelum tahun 700 Masehi ( Casparis, 1975 : 29 ) jauh sesudah bahasa Jawa yang tertua dugunakan secara lisan. Setelah ditemukan beberapa prasasti yang lain, secara berangsur-angsur dilakukan studi paleografi. Dari beberapa prasasti yang dijadikan bahan studi, diperoleh hasil deskripsi yang menggembirakan ( lihat Molen 1985 : 4 ). Namun hingga kini masih sedikit jumlah karya tulis yang membicarakan paleografi Jawa. Karya tulis tentang paleografi Jawa baru dimulai pada awal abad XIX, seperti yang dilakukan oleh Raffles ( 1871 ) Stuart ( 1863 ) dan Keyzer ( 1863 ). Hanya sayang bahwa contoh aksara yang ditampilkan menurut Stuart ( 1864 : 169 – 173 ) lihat Molen, 1985 : 4 ) bukan jiplakan yang asli, melainkan aksara Jawa baru yang dituliskan dengan bentuk dan gaya aksara Jawa kuna, contohnya : dibawah ini dikutipkan dari The History of Java Jilid I, karya Raffles ( 1982 : 370 )

Ada juga Ajaran filsafat hidup berdasarkan aksara Jawa yang sebagai berikut :

Ha-Na-Ca-Ra-Ka berarti ada ”utusan” yakni utusan hidup, berupa nafas yang berkewajiban menyatukan jiwa dengan jasat manusia. Maksudnya ada yang mempercayakan, ada yang dipercaya dan ada yang dipercaya untuk bekerja. Ketiga unsur itu adalah Tuhan, manusia dan kewajiban manusia ( sebagai ciptaan )

Da-Ta-Sa-Wa-La berarti manusia setelah diciptakan sampai dengan data ” saatnya ( dipanggil ) ” tidak boleh sawala ” mengelak ” manusia ( dengan segala atributnya ) harus bersedia melaksanakan, menerima dan menjalankan kehendak Tuhan

Pa-Dha-Ja-Ya-Nya berarti menyatunya zat pemberi hidup ( Khalik ) dengan yang diberi hidup ( makhluk ). Maksdunya padha ”sama” atau sesuai, jumbuh, cocok tunggal batin yang tercermin dalam perbuatan berdasarkan keluhuran dan keutamaan. Jaya itu ”menang, unggul” sungguh-sungguh dan bukan menang-menangan ”sekedar menang” atau menang tidak sportif.

Ma-Ga-Ba-Tha-Nga berarti menerima segala yang diperintahkan dan yang dilarang oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Maksudnya manusia harus pasrah, sumarah pada garis kodrat, meskipun manusia diberi hak untuk mewiradat, berusaha untuk menanggulanginya.

VERSI HANACARAKA #1:
Ha : Hana hurip wening suci (adanya hidup adalah kehendak dari yang Maha Suci)

Na : Nur candra,gaib candra,warsitaning candara (pengharapan manusia hanya selalu ke sinar Illahi)

Ca : Cipta wening, cipta mandulu, cipta dadi (satu arah dan tujuan pada Yang MahaTunggal)

Ra : Rasaingsun handulusih (rasa cinta sejati muncul dari cinta kasih nurani)

Ka : Karsaningsun memayuhayuning bawana (hasrat diarahkan untuk kesajehteraan alam)

Da : Dumadining dzat kang tanpa winangenan (menerima hidup apa adanya)

Ta : Tatas, tutus, titis, titi lan wibawa (mendasar, totalitas,satu visi, ketelitian dalammemandang hidup)

Sa : Sifat ingsun handulu sifatullah (membentuk kasih sayang seperti kasih Tuhan)

Wa : Wujud hana tan kena kinira (ilmu manusia hanya terbatas namun implikasinya bisa tanpa batas)

La : Lir handaya paseban jati (mengalirkan hidup semata pada tuntunan Illahi)

Pa : Papan kang tanpa kiblat (Hakekat Allah yang ada disegala arah)

Dha : Dhuwur wekasane endek wiwitane (Untuk bisa diatas tentu dimulai dari dasar)

Ja : Jumbuhing kawula lan Gusti (selalu berusaha menyatu -memahami kehendak Nya)

Ya : Yakin marang samubarang tumindak kang dumadi (yakin atas titah /kodrat Illahi)

Nya : Nyata tanpa mata, ngerti tanpa diuruki (memahami kodrat kehidupan)

Ma : Madep mantep manembah mring Ilahi (yakin dan mantap dalam menyembah Ilahi)

Ga : Guru sejati sing muruki (belajar pada guru nurani)

Ba : Bayu sejati kang andalani (menyelaraskan diri pada gerak alam)

Tha : Tukul saka niat (sesuatu harus dimulai tumbuh dari niatan)

Nga : Ngracut busananing manungso (melepaskan egoisme pribadi manusia)


VERSI HANACARAKA #2:
Ha: AKU adalah Allah

Na: Nur_KU adalah diriKU (muhammad)

Ca: Cipta = Jadilah>>>>>>>>> Kun

Ra: Rasa = dinyatakan

Ka: Tekad = Terjadilah>>>>>>> fa ya Kun


VERSI HANACARAKA #3:
1. Ha – Huripku Cahyaning gusti Allah (Hidupku adalah Cahaya Allah).>>>>> AKU adalah Allah

2. Na – Nur Hurip Cahya wewayangan (Nur Hidup Cahya yang membayang).>>>>> Nur_AKU adalah diri AKU (Nur_KU adalah Muhammad)

3. Ca – Cipta rasa karsa kwasa (Cipta rasa penuh kehendak).>>>>> Jadilah (mencipta)

4. Ra - Rasa rumangsa kang tanpa karsa (Rasa yang mengalir tanpa kehendak)>>>>> dinyatakan (akan)

5. Ka - karsa kuasa tetungguling pangrih (penuh kehendak akan adanya satu2nya wujud kendali atau yang memerintah).>>>>> Terjadilah

6. Da - dumadi kang tanpa kinardi (menjadi tanpa perbuatan)>>>>> Tercipta

7. Ta - tetep jumeneng ing dzat kang tanpa niat (selalu berhubungan dengan dzat tanpa niat)>>>>> satu kesatuan (sistem)

8. Sa – Sifat hana kang tanpa wiwit (Sifat ada tanpa awal).>>>>> Tidak berawal (Adam = tidak ada)

9. Wa – Wujud hana tan kena kinira (Wujud ada tidak mungkin diuraikan/dijelaskan).>>>>> berbeda dari yang lain

10. La – Lali eling wewatesane (Lupa Ingat adalah batasannya)>>>>> Tidak terikat (bebas)

11. Pa – Papan kang tanpa kiblat (Papan tanpa arah)>>>>> Ada dimana-mana (ka'bah)

12. Dha – Dhuwur wekasane endhek wiwitane (luhur diakhir, rendah diawal)>>>>> Isra' (belajar)

13. Ja – Jumbuhing kawula lan Gusti (Bersatunya kita dengan Tuhan)>>>>> Mi'raj (bersatu)

14. Ya – Yen rumangsa tanpa karsa (Kalau merasa tanpa kehendak).>>>>> Iman

15. Ny - Nyata tanpa mata ngerti tanpa diwuruki (Melihat tanpa mata, mengerti tanpa diajari)>>>>> Kesadaran penuh (hening)


VERSI HANACARAKA #4:
20. Nga : Ngracut busananing manungso (melepaskan egoisme pribadi manusia / melepaskan segala yang melekat pada diri / hrs dengan sengaja dapat melepaskan diri pribadi dgn sengaja)

19. Tha : Tukul saka niat (sesuatu harus dimulai tumbuh dari niatan)

18. Ba : Bayu sejati kang handalani (menyelaraskan diri pada gerak alam / bayu sejati yg menjadi sebab)

17. Ga : Guru sejati sing muruki (belajar pada guru nurani/ guru sejati yg menghampiri)

16. Ma : Madep mantep manembah mring Ilahi (yakin dan mantap dalam menyembah Ilahi)

15. Ny - Nyata tanpa mata ngerti tanpa diwuruki (Melihat tanpa mata, mengerti tanpa diajari)>>>>> Kesadaran penuh (hening)

14. Ya – Yen rumangsa tanpa karsa (Kalau merasa tanpa kehendak).>>>>> Iman

13. Ja – Jumbuhing kawula lan Gusti (Bersatunya kita dengan Tuhan)>>>>> Mi'raj (bersatu)

12. Dha – Dhuwur wekasane endhek wiwitane (luhur diakhir, rendah diawal)>>>>> Isra' (belajar)

11. Pa – Papan kang tanpa kiblat (Papan tanpa arah)>>>>> Ada dimana-mana (ka'bah)

10. La – Lali eling wewatesane (Lupa Ingat adalah batasannya)>>>>> Tidak terikat (bebas)

9. Wa – Wujud hana tan kena kinira (Wujud ada tidak mungkin diuraikan/dijelaskan).>>>>> berbeda dari yang lain

8. Sa – Sifat hana kang tanpa wiwit (Sifat ada tanpa awal).>>>>> Tidak berawal (Adam = tidak ada)

7. Ta - tetep jumeneng ing dzat kang tanpa niat (selalu berhubungan dengan dzat tanpa niat)>>>>> satu kesatuan (sistem)

6. Da - dumadi kang tanpa kinardi (menjadi tanpa perbuatan)>>>>> Tercipta

5. Ka - karsa kuasa tetungguling pangrih (penuh kehendak akan adanya satu2nya wujud kendali atau yang memerintah).>>>>> Terjadilah

4. Ra - Rasa rumangsa kang tanpa karsa (Rasa yang mengalir tanpa kehendak)>>>>> dinyatakan (akan)

3. Ca – Cipta rasa karsa kwasa (Cipta rasa penuh kehendak).>>>>> Jadilah (mencipta)

2. Na – Nur Hurip Cahya wewayangan (Nur Hidup Cahya yang membayang).>>>>> Nur_AKU adalah diri AKU (Nur_KU adalah Muhammad)

1. Ha – Huripku Cahyaning gusti Allah (Hidupku adalah Cahaya Allah).>>>>> AKU adalah Allah


VERSI HANACARAKA #5:
Menurut seorang penghayat kabuyutan sunda :

MAYA PA-DA ( buana atas: spiritual.. atau ketuhanan)

Ha > ha -- Hirup (hidup)

Na > na -- Seuneu / nu Hurung (api/atau sesuatu yang menyala)

Tja > ca -- Cahaya / Caang ( cahaya/ menerangi )

Ra > ra -- Sinar / Maha Cahaya ( sinar / Maha cahaya )Ka >

ka -- Tanaga / Kakuatan ( tenaga/ kekuatan) *Aya sidik jeung rasa-na (nampak beserta rasa-nya)

-MADYA PA-DA ( buana panca tengah : manusia , af'al, kemanusiaan )

Da > da -- Gede ( Agung ) Ta >

ta -- Meta (Gerak Kahirupan / kehidupan)Sa >

sa -- Nunggal / Ngahiji ( manunggal / bersatu )

Wa > wa -- Salaput / papayung / wadah ( selaput / payung / wadah )

La > la -- Alam Jati (hukum)

Pa > pa -- Alam Tempat ( alam semesta )

Dja > ja -- Wujud Halus Hurip (Jati Hirup) ( inti kehidupan )

Ja > ya -- Hurip ( hidup yang menghidupi )

Nja > nya -- Seuneu Hurip (Seuneu Nu Hurip) ( api kehidupan ) *Aya bentuk jeung polah-na ( ada bentuk dan geraknya )

MARCA PA-DA ( buana panca handap - alam semesta.. )

Ma > ma -- Alam / Pangeusi / Mahluk Alam ( alam dan beserta isinya )

Ga > ga -- Kawasa ( kuasa )

Ba >ba -- Panyalur / nu ngadugikeun / nu ngajarkeun ( penyalur/ yang menyampaikan / atau yang mengejarkan

Nga > nga -- Seuneu Kawasa (api yang kuasa ) * Aya lakon pakeun sagala anu kahirupan (system dari segala kehidupan)

REFERENSI LAIN :
Kalau manusia tidak mencoba melakukan tafakur /makrifat kepada Tuhan dengan jalan apapun maka akibatnya adalah menjadi terbalik yaitu roh (manusia ) tdk akan bisa menunjukkan eksistensi ke khalifahan hidupnya didunia atau dengan kata lain tdk bisa mencapai Ka Ra Ca Na Ha (caraka balik ke 4 )

karena kondisi dari roh manusia tergambar dalam makna Ka Ra Ca Na Ha = “Karsaning kuoso tetungguling pangreh, Rasa kuoso kang tanpa karso, Cipta roso karso kuoso, Nur hurip cahyo wewayangan, Huripku cahyaning gusti alloh “Yang menjadi tujuan adalah menunjukkan eksistensi bahwa “uripku (adalah) cahyaning gusti Alloh “ dikatakan pada kalimat sebelumnya adalah “Nur hurip cahyo wewayangan “ yang artinya “ Nur Hidup adalah bayangan dari Cahyo / Cahaya “ oleh karena itu “Hidupku adalah (menjadi ) cahaya nya gusti Alloh “.

Ini lah point utamanya bagaimana kita bisa menjadikan hidup kita adalah cahayanya Gusti Alloh,demikian yang dipikirkan oleh sesepuh dan leluhur orang orang jawa. Disinilah pentingnya kawruh pasamaden / olah rasa / semadi, untuk mencari jalan agar tujuan itu bisa dicapai.

Bait kedua adalah Da Ta Sa Wa La ::Didalam bait kedua ini makna yang terkandung didalam hidup manusia adalah bahwa manusia setelah diciptakan sampai dengan saatnya “kembali “ tidak boleh “sawala “ / mengelak , manusia dengan segala atribut kemanusiaanya harus bersedia melaksanakan dan menerima , menjalankan kehendak TUHAN.

Caranya adalah dengan menjalankan perintah Tuhan yang melalui utusan utusannya, utusan ini dalam konsep jawa dikenal sebagai guru sejati, sang guru sejati inilah yang disebut sebagai Nur Muhammad, setiap orang mempunyai Nur Muhammad masing masing, inilah yang dalam konsep jawa perlu di ikuti untuk bisa mencapai jalan kembali ke asal kita.

Dan tentu saja ini berhubungan La Wa Sa Ta Da (caraka balik ke 3) yaitu =“Lali eling wewatesane , Wujud ono tan keno kiniro , Sifat ono tanpa wiwit , Tetep jumeneng dzat tanpo niat, Dumadi tanpo kinardi “.Yang diuraikan disini adalah prosesnya dengan bersedia melaksanakan dan menerima serta menjalankan kehendak Gusti Alloh, maka akan terjadi proses alami seperti pada La Wa Sa Ta Da yaitu “lali eling wewatesane “ = “hilang batasnya “ dan menjadi “wujud tan keno kiniro “ artinya adalah ketika kita setia kepada sang guru sejati, maka akan hilang batas ke akuan (ego ) kita sehingga ke akuan kita menjadi tidak berwujud lagi (lebur ) dan ketika ke akuan kita lebur muncullah keaslian dari “jumeneng dzattanpo niat “ yang “dumadi tanpa kinardi “ yaitu Dzat itu sendiri, semua muanya atas kehendak NYA.

Bait ketiga adalah Pa Da Ja Ya Nya ::Adapun makna yang ada didalam bait kedua ini adalah berhubungan/ bersambung an dengan bait kedua diatas yaitu menyatunya Dzat Pemberi Hidup (Khalik ) dengan yang diberi hidup (mahluk) adapun menyatu (“Pa Dha “) adalah sama atau sesuai , cocok / tunggal batin yang akhirnya tercermin dalam perbuatan berdasarkan keluhuran dan keutamaan. Manunggal / bersatunya melalui penyatuan sifat sifat Tuhan. Jaya disini bisa berarti menang , unggul, sungguh sungguh dan bukan menang menangan.

Demikianlah keadaan ketika “menyatunya” Dzat Pemberi Hidup (Khalik ) dengan yang diberi hidup (mahkluk), menjadikan seolah olah tiada batasan.Namun kondisinya adalah tetap ada 2 komponen (Khalik dan Mahluk ) yang berbeda. Menyatu atau Jumbuh adalah bukan bercampur !!!. Oleh karena itu kita perlu bercermin diri, mawas diri, harus berani melihat kenyataan yang ada sekarang ini.

Ini juga berhubungan dengan Nya Ya Ja Da Pa (Caraka balik ke 3) yaitu ““Nyoto tanpo moto ngerti tanpa diwuruki, Yen Rumangsa tanpa karso, Jumbuhing kawulo Gusti , Dhuwur wekasane entek wiwite , Papan tanpo kiblat “ .Maknanya “Melihat tanpa menggunakan mata, tahu tanpa ada yg memberi tahu, merasa tidak bisa apa apa, manunggalnya (sifat) Tuhan dan manusia secara terus menerus tanpa ada ujungnya, menuju tempat yang tanpa kiblat (tanpa ada apa apa ).

Nya Ya Ja Da Pa bisa dicapai kalau bisa melakukan dan menerima Pa Da Ja Ya Nya, dengan demikian pemikiran orang jawa ini secara tersirat ada dalam huruf huruf jawa yang tampak sederhana dan seolah olah hanya sekedar abjad yg tidak berarti. Pengolahan kedalam ini dilakukan bagi orang orang jawa yang memang menyadari kejawaanya.“Barang siapa yang buta dirinya (bukan mata fisiknya) didunia ini , dihari nanti ia lebih buta , dan jalan yg ditempuhnya lebih menyesatkan “ (Q.S Al Isra (17):72Jadi menurut saya kita lebih berhati hati mencari “jalan hidup “ agar tidak tersesat di kemudian hari nanti.

Pahami diri sendiri bukan memahami orang lain, carilah kedalam diri , renungkanlah dalam diri , yang namanya merenung itu ya dalam kondisi diam, kita tdk akan bisa melakukan perenungan dengan kondisi yang bergerak. Sebagai contohnya adalah kita melakukan perenungan diri kita yang masih penuh nafsu amarah misalnya, dalam kondisi merenung ya dalam kondisi diam, tdk akan bisa kita melakukan perenungan / pengendalian dalam kondisi “bergerak “ , coba saja nafsu amarah ditahan dengan nafsu yang lain (muthmainah misalnya), sama saja artinya mengekang nafsu dengan nafsu ya tidak bakal ada habisnya.

Ini juga yg dicontohkan oleh Nabi Yusuf dalam kisahn di goda nafsunya oleh Siti Zulaiha, jelas jelas ajakan itu dilarang oleh Tuhan oleh karena itu Nabi Yusuf tetap pada pendiriannya, akan tetapi yang namanya dorongan nafsu adalah fitrah sehingga hampir saja Nabi Yusuf terhanyut kalau saja beliau tidak bersimpuh dan memohon perlindung Tuhan yang selalu mengawasi dalam batinnya “ Ya Allah tidak akan kubiarkan nafsuku ini berbuat curang, aku tidak kuasa dengan dorongan syahwat yang begitu dahsyat, kecuali Engkau merahmati nafsuku ini “Akibatnya hati Nabi Yusuf yang bergejolak tiba tiba menjadi damai, kini kejahatan itu lenyap sama sekali, sehingga Nabi pun tidak perlu bersusah payah untuk menahan diri lagi. Kini jiwanya telah menjadi jiwa yang mutmainah (bukan NAFSU Muhtmainah).

Dikatakan Nabi Yusuf telah mendapatkan “burhan “ / pencerahan. Demikian bisa dilihat di QS Yusuf 12, Ayat 23-24).Bait ke 4 Ma Ga Bha Tha NgaMakna Huruf Jawa pada bait ke 4 ini adalah menerima segala sesutau yang diperintahkan dan dilarang oleh Tuhan, manusia dituntut untuk pasrah , sumarah (Rela, Sabar, Narima ) pada garis kodrat walaupun manusia diberi hak untuk ber iradat, berusaha untuk menanggulangi semampunya.RelaAdalah rasa longgarnya hati untuk memasrahkan semua yang dimiliki, wewenang dan hasil pekerjaan kepada Allah dengan iklas, karena semuanya adalah dalam kekuasaan NYA.Oleh karena itu orang yang mempunyai watak rela tidak pantas untuk mengharapkan hasilnya apalagi sampai berkeluh kesah terhadap apa yang dideritanya dan dihadapinya. Orang yang rela tidak memilik kemelekatan kepada barang barang yang bisa rusak, tetapi bukan orang yg menyepelekan kewajibannya.

Sabar-sabar bagi orang jawa adalah merupakan sifat yang termasuk budi baik yang perlu dipunyai oleh orang yang belajar keTuhanan /kebatinan. Diceritakan orang jawa mempunyai faham bahwa Gusti Alloh menyukai orang orang yang sabar, sabar disini adalah sanggup menahan segala ujian namun bukan orang yang putus asa, bisa dikatakan mempunyai pengetahuan yang luas, tidak seperti katak dalam tempurung, membatasi diri dalam kotak buatannya sendiri, tanpa membedakan antara emas dan tanah, kawan ataupun musuh semuanya dianggap sama. Ibaratnya seperti samudra yang tidak meluap walaupun dialiri sungai dari mana mana.

Bagi orang jawa belajar melatih kesabaran adalah penting supaya bisa terhindar dari sifat “cupet pikire “ alias pendek pemikiran, sebab pikirannya dibatasi oleh pengetahuannya,menganggap salah dan keliru pemikiran orang lain yang tidak sama dengan pemikiran kita. Kesabaran itu seperti jamu yang rasanya pait tetapi bisa menyehatkan.Dalam kitab Dhammapada bab VI (Pandita Vagga - 5) dituliskan “ Pembuat saluran air mengalirkan air, tukang panah melengkungkan kayu, orang bijaksana mengendalikan dirinya sendiri “ Lho ?? Ya memang pengendalian itu kita yang memegangnya bukan orang lain, kita mau membatasi diri atau tidak ya tergantung diri kita sendiri, tentu saja dengan resiko dan akibatnya sendiri sendiri.

Sesepuh sesepuh Jawa pun sudah mengajarkan hal ini , walaupun tidak ada kitab ataupun tulisannya,hanya pemikirannya sudah menjangkau apa yang ada dalam kitab kitab tertulis.Lalu apakah dengan demikian paham Jawa ini bisa menggantikan kepercayaan dan keyakinan kita sekarang ? Hmm..Ajaran jawa adalah ajaran yang universal dan tidak berkaitan dengan suatu ritual agama dan kepercayaan tertentu, ajaran jawa tidak dimaksudkan untuk menggantikan apa yang kita punya namun lebih ditekankan untuk “menambal “ dari apa yang kita percayai sekarang. Ibarat agama dan kepercayaan itu adalah rumah, paham jawa adalah menambal bila ada yang keropos pintunya, jendelanya kurang kisi kisnya , jadi tidak dimaksudkan untuk merobohkan rumah itu.!!NarimaNarima = Menerima adalah sifat yang juga menumbuhkan rasa tentram dihati, apa yang sudah ada ditangan dikerjakan dengan sepenuh hati tidak dengan terburu buru, kemrungsung, tidak iri dengan kepunyaan orang lain.

Dengan kata lain narima adalah sama dengan syukur, bersyukur atas segala nikmat yang diberikan oleh Dzat Wajibul Mulana, Gusti Aloh, Pangeran, Dzat Ingkang Murbeng Dumadi. Sifat menerima itu merupakan harta yang tidak pernah habis, bagi orang jawa “yen golek sugih upayanen nang njero panarima “ maksudnya “kalau ingin kaya carilah dalam sifat penerima “

Nah kan Lantas apa hubungan Ma Ga Ba Tha Nga dengan Nga Tha Ba Ga Ma ? mari kita ulas sebentar , Nga Tha Ba Ga Ma dalam konsep hidup adalah = “Ngeracut busananing Manungsa, Thukul saka niat , Bayu Sejati handalaning , Guru sejati kang wuru’ki, Mati bisa bali.”Maksudnya ? Ngacut busananing manungsa = melepas pakaian sebagai manusia, Thukul saka niat = Yang dimulai dengan niat , Bayu Sejati handalaning = Bayu /Angin / Nafas yang menjembatani , Guru sejati kang wuru’ki = Guru Sejati (Nur Muhammad ) yang membimbing , Mati bisa bali = Mati bisa kembali (ke asalnya ).Dari tulisan diatas bagi saya sudah jelas benang merahnya, tujuan akhirnya dari Ma Ga Ba Tha Nga adalah Nga Tha Ba Ga Ma.

AMBU DIANA
Dua wayang bercakap-cakap (Hanacaraka), bertengkar (Datasawala), perang-tanding (Phadhajayanya) dan tergeletak mati (Magabathanga). Sebenarnyalah Hanacaraka suatu ‘ilmu luhung’ yang sangat tinggi renungan dalam meditasi untuk mendapatkan makna lebih mendalam dan berarti.....

Pengertian Hanacaraka hanya 20 suku kata semakin lama semakin meluas mencakup segala yang alami, dan jikalau dipelajari benar2 menyiratkan dasar kesunyataan alam semesta pada tingkat tertinggi (mendasar). “ADA’-nya Cipta, Rasa dan Karsasebagai sumber Kekuasaan yang tertinggi = Alam Tritunggal (Ca, Ra, Ka) yang Maha Kuasa...

Ha: Huripku CahyaningAllah. Hidup(ku) cahaya Allah sumbercahaya dan kehidupan semesta. Seluruh alam semesta penuh kehidupan, mulaiparticle terkecil-planet- bintang danGalaxi serta penghuninya dalam dimensi manusia maupun dimensi dimensi lainnya yang belum dikenal/diketahui manusia ....

Na: Nur hurip cahyawawayangan.Nur hidup adalah cahaya membayang dilambang wayang; Nur = cahaya yangmembayang dan Caraka adalah wayangnya maka Caraka (utusan) sebagaiIngsundan bayangan layar = ingsun (bayangan Ingsun).

Ca – Cipta rasa karsa kwasa.Tritunggal Cipta, Rasa dan Karsa adalah aspek aspek yang mendasari kekuasaan tertinggi (Maha Kuasa) di seluruh alam semesta; Ra – Rasa kuasa tetunggaling pangreh. Aspek Rasa (Rahsa sejati) yang terkandung di dalam Tritunggal diatas merupakan aspek kendali dalam kekuasaan yang Maha Tinggi

Ka–Karsa kuasa kang tanpa karsa lan niat. Karsa, hasil ataupun ‘wujud’ Tritunggal diatas adalah ke-Maha-Kuasa-an yang masih murni, belum diwarnai keinginan atau kehendak. Manifestasi Tritunggal (Caraka, utusan Allah) yang Maha Kuasa terjelma dalam alam Datasawala yang penuh jajaran Monads, Logos dll dan berkuasa penuh dalam manifestasinya masing masing...

Datasawala menyiratkan alamkehidupan pada tingkat Monad, Logos; (Atma) diluar dimensi ruangdan waktu. Ke-MAHA KUASA-an didasari Cipta, Rasa dan Karsa pada setiap Logos/Monad mulai dilengkapi dengan ‘kehendak’ dan ‘niat’ yang melahirkan “Ingsun”.... Gambaran tentang alam dimana kesadaran terlebur ke bola cahaya hubungan 'inter-connected-ness' of ALL THAT IS...

Da – Dumadi kang kinartiTumitah/menjadi ada/terjadi; makna sebagai Karsa (hasil) dari Tritunggal (Caraka);

Ta – Tetep jumeneng ing dzat kang tanpa niat. Berada dalam dzat (Nur hidup cahaya yang membayang) diluar dimensi ruang dan waktu serta masih murni, belum diwarnai kehendak atau niat, walaupun sudah membawa maksud dan maknanya ...

Sa – Sifat hana kang tanpa wiwit ‘ADA’ tanpa asal usul, kekal di luar dimensi waktu (tiada perbedaan waktu lalu, sekarang dan yang akan datang);

Wa– Wujud hana tan kena kinira. ‘ADA’ tak berbentuk. Manunggal berada diluar dimensi ruang, tiada perbedaan sini-sana, dekat-jauh,...atas-bawah, depan-belakang.....

La–Lalieling wewatesane ‘Lupa-ingat' adalah batasan terjelmanya free-willkehendak yang bebas, batasan ‘ingat-lupa’ maksud, rencana dan makna yangdigariskan mula Karsa Tritunggal. Atas ‘kehendak bebas’ terjadilah Ingsun (Higher Self /Guru Sejati) bagian tak terpisahkan dari Atman. Setiap Ingsun dilengkapi ‘kehendak’ ...

Manifestasi dari kehendak yangsesuai dengan karsa menciptakan alam ketiga, alam Ingsun yang tersirat dalamrumusan PA DHA JA YA NYA .....

Padhajayanya menyiratkan alam kehidupan yang merupakan ‘manifestasi kehendak dan niat jajaran Ingsun (Higher Selves) kedalam alam yang multi dimensi melalui proses evolusi alam semesta beserta seluruh penghuninya. Mak terciptalah dimensi ruang dan waktu serta timbulnya ‘perbedaan’ (dualisme) antara ingsun dan Ingsun (kawula lan Gusti)menyiratkan hakikat ingsun yang masih bersatu dengan sang Ingsun. Adanya ‘Rasa’ membuat semuanya ‘nyata’ tanpa melihatnya dengan mata, dan semuanya bisa dimengerti walaupun tanpa diajari. Namun dalam alam ini ‘rasa’ belum dapat diwujudkan.....

Pa–Papan tanpa kiblat:dimensi ruang pertama kali hubungannya dengan “Big Bang”.

Dha–dhuwur wekasane endhek wiwitane : tinggi/luhur pada akhirnya, rendah pada awalnya, tercipta dimensi ruang disusul dimensi waktu ‘proses evolusi dalam waktu’ bermula dari kesederhanaan. ...

Ja–jumbhuhingkawula lan GUSTI: bersatunya hamba-Tuannya:dimensi ruang pula‘perbedaan’ kawula dan Gusti masih dalam kesatuan.

Ya–Yen rumangsa tanpakarsa, ada rasa belum dilengkapi karsa (belumdapatdi’wujud’kan).

Nya–Nyata: tanpa mata ngerti tanpa diwuruki. Adanya Rasa...semuanya dirasakan nyata meski tanpa melihat dengan mata, dan semuanya bisa mengerti walaupun tanpa diajari...

MAGABATHANGA – ALAM JIWA DAN RAGA

Ma-ga-ba-tha-nga menyiratkan alam jiwa-raga, ingsun ber’karsa’ dengan reinkarnasi berulang kali, untuk ‘hidup’ dialam ‘kematian’. Rasa- karsa di alamkematian, ingsun dibimbing sang Ingsun (Guru Sejati) dibantu Bayu Sejati ‘bayangankekuasaan ter- tinggi’. Karsa hidup di alam kematian dan memberikan hidup kepada unsur (t...anah, air, udara dan api)meracutnya sesuai rasa yang hendak di-karsa-kan....Magabathanga menyiratkan alam kehidupan dimana ingsun dengan bimbingan Ingsun (Guru Sejati) dan bantuan Bayu Sejati (bayangan kuasa Allah) melaksanakan ‘misi’ (karsa) yang timbul dari ‘niat’ untuk ‘merajut’ busana manusia di alam fisik (alam kematian/tidak kekal), alam jiwa dan raga....

Ma –Mati bisa kembali. Ingsun memasuki alam kematian memberikan ‘hidup’ kepada unsur unsur yang ada, akan kembali ke alam kehidupan;

Ga – GuruSejati kang muruki dalam rangka ber-‘karsa’, ingsun dibimbing oleh Ingsun (Guru Sejati)

Ba– Bayu Sejati merupakan bayangan kekuasaan maha tinggi yang diandalkandalam ber-karsa;

Tha– Thukul saka niat, karsa yang dilakukan dengan masuknya ingsun ke alam kematian timbul dari kehendak yang luhur pada saat lahirnya Ingsun sebagai bagian Monad di alam Datasawala;

Nga–meracut busana manusia adalah misi utama ...ingsun yang menjelma manusia.

Ha sampai ke Nga, terlihat jelasbahwa “Ngracut busananing manungsa” misi ingsun dan Ingsun untukberpartisipasi dalam proses evolusi di bumi ini sebagai bagian dari The ThirdOutpouring- Dihubungkan dengan ajaran S9 : misi untuk meracut busana manusia sama dengan mengajak dan mendorong yang 9 untuk ber-evolusi.