Ajaran Martabat Tujuh, dipercayai dipeloporkan oleh seorang sufi master dari India yang namanya disebut Ibnu Fadillah (tanpa tahu tarikhnya). Ajaran tersebut memang berkembang luas di India hingga ke hari ini dan menebar terus ke alam nusantara semenjak di zaman kemuncak Wali Songo. Namun difahamkan melalui susulan sejarah, Ibnu Fadillah, bukanlah satu-satunya tokoh sufi yang memulai ajaran Martabat Tujuh, beliau sekadar memperkembangkan inti ajaran tersebut di India dan adalah difahamkan ajaran Martabat Tujuh sebenarnya bermula daripada pengajaran thariqah Sultan Auliya' Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani.
Bukti ini bisa kita dapati menerusi beberapa buah tangan kitab Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani sendiri seperti Sirrul Asrar, Futuh Al-Ghaib, Fath Al-Rabbani dan sebagainya lagi. Di zaman hayat Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani, nama Martabat Tujuh belum lagi dikenal pasti.
Martabat Tujuh berdasarkan dari sunnah Nabi saw, yaitu sewaktu Nabi saw miraj kelangit ketujuh, sampai ke Sidratul Muntaha dan kemudiannya menemui dan melihat Allah secara langsung. Ajaran Martabat Tujuh ini, inti atau dasarnya lebih tepat dikenali sebagai Kesatuan Penglihatan, karena ketika Nabi saw dikatakan sedang menemui Allah, Nabi saw menyaksikan sendiri Wajah Allah, dengan artikata lain bukan 'bersatu dengan Allah' sebagaimana yang didoktrinkan pula oleh ajaran Kesatuan Wujud. Justru dalam keadaan melihat Allah, makhluk tetap makhluk, dan Khaliq tetap Khaliq. Ibarat air dalam gelas, walaupun tampak serupa, akan tetapi air tetap air, gelas tetap gelas.
Ada hadis meriwayatkan, ketika ditanyai oleh para sahabat, "Bagaimanakah keadaan ketika engkau melihat Allah, wahai Rasulullah?"
Nabi saw menjawab, "Aku tidak tahu di mana aku berada."Bukti ini bisa kita dapati menerusi beberapa buah tangan kitab Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani sendiri seperti Sirrul Asrar, Futuh Al-Ghaib, Fath Al-Rabbani dan sebagainya lagi. Di zaman hayat Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani, nama Martabat Tujuh belum lagi dikenal pasti.
Martabat Tujuh berdasarkan dari sunnah Nabi saw, yaitu sewaktu Nabi saw miraj kelangit ketujuh, sampai ke Sidratul Muntaha dan kemudiannya menemui dan melihat Allah secara langsung. Ajaran Martabat Tujuh ini, inti atau dasarnya lebih tepat dikenali sebagai Kesatuan Penglihatan, karena ketika Nabi saw dikatakan sedang menemui Allah, Nabi saw menyaksikan sendiri Wajah Allah, dengan artikata lain bukan 'bersatu dengan Allah' sebagaimana yang didoktrinkan pula oleh ajaran Kesatuan Wujud. Justru dalam keadaan melihat Allah, makhluk tetap makhluk, dan Khaliq tetap Khaliq. Ibarat air dalam gelas, walaupun tampak serupa, akan tetapi air tetap air, gelas tetap gelas.
Ada hadis meriwayatkan, ketika ditanyai oleh para sahabat, "Bagaimanakah keadaan ketika engkau melihat Allah, wahai Rasulullah?"
Di zaman Wali Songo, ajaran Martabat Tujuh itu tidak diajarkan sembarangan kepada orang awam, atau di majlis taklim yang terbuka, melainkan kepada murid-murid tertentu yang sudah cukup mendalami ilmu syari'at, usuluddin serta sudah bisa membaca Al-Qur'an. Dikhuwatirkan sebagaimana terjadi peristiwa di zaman Nabi saw, banyak umat Islam yang murtad kerana tidak dapat menerima kebenaran Nabi saw mikraj hingga ke tujuh lapisan langit, melainkan orang-orang yang beriman.
Kata Abu Hurairah r.a., "Seandainya aku membuka rahasia miraj Nabi saw, pasti ada orang yang akan mengelar leherku."
Martabat Tujuh itu adalah membawa kepada maksudnya tujuh peringkat langit, maka di dalam konteks miraj yang dimaksudkan langit itu bukanlah lapisan cakrawala, planet-planet atau yang lebih disebut di atas ruang angkasa. Benda-benda yang termasuk bumi, bulan, matahari dan bintang-bintang, atau segala apa yang ada di ruang angkasa masih digolongkan alam duniawi, atau dikatakan berada di langit yang terendah sekali.
Bagi golongan yang menganuti ajaran Martabat Tujuh ini pula, merupakan parasalik (pengembara) yang dalam perjalanan mencari Tuhannya untuk mencapai tujuan makrifat sepertimana yang dituntut - barang siapa mengenali dirinya, maka kenallah Tuhannya. Dan barangsiapa pula yang mengenal Tuhannya, maka fanalah dirinya.
Justru, untuk mencapai maksud mengenali diri itu harus berpandukan jejak sunnah Nabi saw dengan melalui miraj ke Langit, yaitu sang salik naik ke tujuh lapisan langit sehingga bertemu Allah. Miraj bisa dilakukan oleh ummat Nabi Muhammad saw sebagaimana sabdanya,
"Sholat itu adalah miraj bagi orang mukmin."
Manakala makhluk-makhluk lain seperti hewan dan jin tak bisa melakukan miraj. Bagi para malaikat pula, meskipun mereka merupakan makhluk halus yang dicipta daripada cahaya, tetapi mereka hanya dizinkan berada di tahap-tahap langit yang tertentu saja, yakni di bawah Sidrahtul Muntaha atau nama lainnya Nur Muhammad. Manakala bagi golongan manusia pula, hanya yang terpilih adalah orang-orang yang beriman dan tinggi ketakwaannya. Manusia kafir tidak dibenarkan miraj ke langit, andai mampu pun hanya setingkat berada di antara bumi dan langit yaitu Alam Jin. Sebagaimana yang di perjelaskan dalam sebuah hadis qudsi,
"Sebelum makhluk di langit dan bumi ingin mencariKu. Tiada suatu apa pun yang bisa menjangkau-Ku. Aku hanya bisa dijangkau oleh hati hamba yang mukmin."
Hanya dengan 'hati yang mukmin' saja yang bisa naik ke tujuh lapisan langit menemui Allah. Maka perjalanan ke langit dengan pelbagai peralatan sains dan teknologi moden seperti roket, tak mungkin mampu kesampaian menemui Allah. Sebagaimana pesan para sufi :
Allah Ta'ala telah mempermudahkan hamba-Nya yang beriman, dengan hanya beribadah kepada-Nya, manusia mampu naik ke langit menemui-Nya tanpa peralatan-peralatan benda duniawi yang perlu dibuat oleh manusia. Dan cara beribadah itu telah Allah aturkan seperti sholat, puasa, zikir dan haji yang begitu mudah untuk manusia laksanakan. Namun jika manusia ingin juga menciptai peralatannya sendiri untuk naik ke langit, maka Allah telah lebih dahulu berfirman melalui ayat 33, Surah Al-Rahman:
"Wahai jin dan manusia, jika kamu sanggup menembusi penjuru langit dan bumi, maka tembusilah (lintasilah). Kamu tak dapat menembusinya melainkan dengan kekuatan."
Angkasa yang dapat kita saksikan dengan panca indradi bumi ini adalah masih di dalam lingkungan langit yang paling rendah sekali. Maka mirajnya Nabi saw ke langit-langit yang lain telah menjangkau lebih jauh batasnya dari langit yang rendah ini.
Tetapi jangan kita bayangkan pula miraj Nabi itu seperti menaiki anak tangga terus ke atas, ke atas, dan ke atas lagi dan terus-terus ke atas....... Itu tidak benar dan tak dapat kita gambarkan dengan khayalan seperti itu.
Allah sudah menerangkan bahwa Allah menjadikan setiap langit itu berlapisan dan bukan bertingkat-tingkatan seperti sosok bangunan rumah susun yang terdapat di muka bumi ini. Maka arti lapisan yang bisa kita fahami bahwa dari satu lapisan ke satu lapisan itu sebenarnya amat dekat dan tidak jauh, seperti contohnya kita melihat lapisan kelopak bawang. Maka jika mudah kita fahamkan seperti ini, maka selanjutnya akan lebih mudah jika kita fahamkan lapisan tujuh langit itu seperti dalam bentuk rajah bulatan, dan dalam bulatan itu terdapat garisan bulatan-bulatan yang lain yang merupakan lapisan dalam lapisan. Dan di sini lagi, akan membuat kita mudah memahamkan akan maksud firman Allah dalam Al-Qur'an, "Aku lebih dekat dari urat leher manusia."
Mengapa Allah mengatakan Diri-Nya lebih dekat dari urat leher manusia? Jika kita mengambil jalan fikiran ilmu kajian sains, sudah pasti akal kita akan memikirkan menurut natijah kita bahwa Tuhan yang ditemui sewaktu Nabi miraj itu sebenarnya berada sangat tinggi di atas langit yang paling atas sekali. Andai demikian, mengapa langit dikatakan jauh dan tinggi, padahal
Tuhan sebenarnya teramat dekat dengan manusia?
Apakah kita sadari, sebenarnya tujuh lapisan itu tidak jauh dari diri kita?